[Cerpen] Memory

     "Ricky... Bagusan, aku pake baju apa...?", tanya seorang gadis kecil kepadaku sambil memperlihatkan kedua setel pakaiannya yang masih ada gantungan baju.
     "Hmm... Kayaknya yang warna putih bagus deh.", jawabku kepadanya.
     "Yang ini ? Makasih Ricky...", kemudian dia kembali ke kamarnya lagi lalu menutup pintunya. Aku hanya melihat dia berlari ke kamarnya.
     3 tahun, waktu yang sangat lama tapi terasa cepat berlalu sejak saat itu. Kenangan bahagia kami yang membuatku pula menemukan arti hidup lagi, kemudian menjadi kenangan yang membuat kami sedih. Walaupun pada akhirnya, sekarang kami bisa terus berjalan ke depan tanpa terkurung oleh masa lalu.
     Namaku, Ricky Zulkarnain, nama panggilanku Ricky. Umurku 22 tahun. Aku hanyalah seorang karyawan swasta biasa yang belum menikah, tetapi aku pernah memiliki hubungan khusus dengan seseorang dan tinggal satu rumah dengannya walaupun aku bukan suaminya. Aku juga memiliki seorang anak asuh yang juga merupakan anak dari wanita yang paling aku cintai dan ku-sayangi. Anak itu bernama Lily Puspa Sukmawati, gadis berusia 9 tahun yang sekarang duduk di kelas 3 SD dia adalah satu-satunya keluarga yang kumiliki dan juga kenang-kenangan dari wanita yang telah merubah pandangan hidupku. Anak itu memang sangat mirip dengan ibunya. Saat aku melihatnya, terkadang aku teringat wajah ibunya yang cantik dan cerah.

     Sejak kecil, orang tuaku tidak pernah memperdulikanku. Mereka hanya sibuk dalam bekerja saja. Pergi pagi, pulang malam. Jarang sekali aku bertemu dengan mereka ataupun menyapa mereka bahkan di hari Minggu dan hari libur. Saat SD aku hanya diasuh oleh seorang pengasuh, lalu saat SMP aku harus selalu tinggal dirumah sendirian. Selama ini aku selalu merasa kesepian.
     Tapi suatu hari di saat aku duduk di kelas 2 SMU, suatu hal yang menyakitkan bagiku terjadi. Saat aku tidur, aku terbangun karena mendengar suara keras orang yang sedang bertengkar. Ya, orang tuaku bertengkar. Lalu, pada akhir percakapan ayahku berkata, "Baiklah !! Kalau begitu, kita cerai saja !!".
     "Silahkan kalau begitu, aku juga sudah malas denganmu !!!", jawab ibuku dengan nada yang tak kalah kerasnya.
     Mendengar kata - kata itu, semua kata - kata itu, kebencian, kesedihanku meluap. Aku langsung menutup kepala dan telingaku dengan bantal sambil menangis, berharap untuk tidak mendengar kata apapun dari mereka. Sepanjang malam aku terus menangis walaupun mereka berhenti bertengkar.
     "Mengapa...? Mengapa...? Mengapa seperti ini ?", waktu itu aku sambil menangis berkata dalam hatiku.
     "Kalau aku mati, mungkin mereka..... Tidak ! Merekalah yang harus mati ! Merekalah yang membuatku menderita ! Mereka harus mati !!", pikiran gelapku muncul pada malam yang gelap saat itu. Aku mengutuk mereka berkali - kali dalam pikiranku.
     2 hari semenjak saat itu mereka mengalami kecelakaan di tempat yang terpisah. Mereka tewas seketika, aku tidak sedih, berduka ataupun menangis atas kematian mereka walaupun aku berada diatas kuburan mereka. Lalu, salah satu pamanku datang kepadaku dan berkata, "Ricky... bagaimana kalau kamu pergi ke Jakarta tinggal dengan sepupumu, Rani ? Dia akan menanggung semua biaya hidup dan sekolahmu. Jangan khawatir...".
     Mengapa mereka tidak mengasuhku disini saja ? Mengapa dititipkan ke orang lain ? Jadi ternyata mereka mengusirku dari rumahku dengan cara yang halus.
     "Kalau begitu lebih baik kalian juga harus mati saja !", pikirku saat itu.

     1 minggu berlalu, aku pergi ke Jakarta dengan kereta dari rumahku di Bekasi. Saat aku baru saja sampai di stasiun, seorang gadis kecil menghampiriku dan bertatap mata denganku.
     Kemudian aku bertanya kepadanya, "Adek, kemana ibumu...? Siapa na...".
     Belum selesai aku berkata, tiba - tiba seorang perempuan memanggil nama anak ini, "Lily ! Jangan pergi jauh - jauh dong...".
     Lalu aku menengok ke arah asal suara itu,  aku hanya diam melihat perempuan itu bernafas tersengal - sengal. Kemudian, dia memulai percakapan kami sambil tersenyum, "Ricky ! Wah... sekarang kamu sudah besar ya ? Sudah lama tidak berjumpa".
     "Eh... maaf, apakah kita pernah bertemu sebelumnya ?". Aku bingung sekali melihat seseorang yang berbicara denganku mengaku sudah mengenalku.
     "Heh... ? Masak lupa sih ? Ini aku ! Rani ! Waktu itu aku pernah ke rumahmu saat kamu masih SD. Saat itu kamu masih suka mengompol lalu aku mencuci ka...".
     Secara tiba - tiba aku menutup mulutnya lalu berbisik, "Ssssttt ! Jangan kenceng - kenceng, malu ah !".
     "Ha ha ha... maaf Ricky, soalnya kamu lupa sih... Jadi aku ingetin dengan hal itu aja."
     "Heeh... baiklah, aku ingat, kamu Kak Rani kan ? Yang saat itu berkunjung ke rumahku pernah lupa menutup resleting belakang rok-nya kan ?" jawabku sambil senyum - senyum meledek.
     "Aaah... jangan ngomongin itu, malu...", mukanya langsung merah padam karena malu, "Lagipula, panggil aku Rani saja ya ?"
     Aku mengangguk saja untuk menyetujui permintaannya.
     Namanya Rani Sukmawati. Umurnya saat itu masih 27 tahun, dan saat itu aku masih berusia 16 tahun di kelas 2 SMU, dan juga Lily yang saat itu masih berumur 4 tahun yang mana saat itu ia masih belum bersekolah. Rani memiliki rambut hitam yang panjang dan lebat, kulitnya yang cantik dan juga tubuhnya ramping. Ia terlihat seperti seorang model iklan yang terkenal.
     Lily adalah anak hasil hubungan gelap Rani dengan pacarnya yang melarikan diri, tapi ia tidak pernah mengeluh tentang hal itu, dan terus mengasuh dan merawat Lily sebagai seorang ibu seperti biasanya. Akupun pernah berfikir tentangnya, mengapa dia harus merawat anak itu, mengapa dirinya tidak membuang anak itu saja. Dan juga, apakah memiliki seorang anak akan membuatnya bisa menikah dengan orang tersebut atau orang lain dengan memintanya dengan iba memperlihatkan bahwa ia sedang mengurus seorang anak ?. Orang tua seperti itu sangatlah tidak pantas untuk menjadi orang tua.

     Sesampainya di rumah 1 lantainya yang sederhana, dengan tata letak ruangan rumah tipe 78 pada umumnya, aku tinggal disini hingga sekarang. Awalnya aku apati dengan lingkungan baruku, tetapi Rani terus berbicara kepadaku dengan wajah yang bahagia. Waktu itu aku adalah orang yang apati dengan lingkungan sekitar dan masih terperangkap dalam masa laluku yang kelam. Suatu hari, aku pernah bertanya kepada Rani, "Mengapa kamu harus melahirkan Rani ? Apakah dengan memiliki seorang anak kamu akan memanfaatkannya agar kamu bisa menikah dengan orang tersebut atau orang lain ?".
     "Tidak, bukan itu alasannya.", dia hanya menjawab dengan tenang tanpa ada rasa tersinggung sedikitpun, "Alasan aku merawat Lily adalah karena pacarku saat itu, menyuruhku untuk mengaborsi Lily. Tapi aku tidak ingin menjadi seorang pembunuh, apalagi kepada darah dagingku sendiri."
     Mendengar jawaban itu, semua pikiran burukku tentangnya sirna. Semua perkataannya membuatku berfikir, "kalau saja aku sepertinya, apakah akau akan seperti itu ?". Lalu aku bertekad untuk menjadi orang dewasa secepatnya, secepatnya agar aku bisa membantu mereka. Aku selalu tak sabar untuk menjadi orang dewasa. Bahkan, aku bertekad untuk belajar dengan giat agar bisa sukses.
     Pada malam itu aku merenung di kamarku pada malam hari, Lily masuk ke kamarku dan melihat aku yang sedang menangis. Kemudian ia menghampiriku dan memelukku dan ia meminta untuk tidur denganku. Aku terlihat seperti orang yang menyedihkan, ditenangkan oleh seorang anak kecil, tapi hal itu membuatku merasa lebih baikan karena ternyata masih ada orang yang peduli denganku.
     Keesokan paginya, Rani sedang memasak untuk sarapan pagi dan aku ke dapur bersama Lily yang masih mengantuk. Lalu Rani berkata, "Wah... ternyata kamu bisa akrab dengan Lily, biasanya dia itu pemalu bila dengan orang lain. Kamu pake ilmu pelet apa, Ricky ?".
     "Memangnya aku ini 'mbah dukun' !?" Jawabku.

     Pagi yang biasanya kujalani di rumah yang lama terasa sunyi sepi tanpa ada kehangatan apapun, kini menjadi pagi yang penuh canda tawa dan kehangatan di rumah ini. Semua sisi burukku yang pernah keluar kini sudah semakin pudar walaupun aku masih belum bisa melupakan kejadian di rumahku saat itu. Aku mulai merasa berada di dalam sebuah kehidupan keluarga yang sebenarnya. Penuh kehangatan, kasih sayang, canda tawa, dan kebahagiaan.
     Setiap hari Rani membuatkanku bekal makanan untuk kesekolah, dan setelah Lily berumur 5 tahun dan mulai masuk TK, Rani selalu mengantar Lily ke TK yang tak jauh dari rumahnya. Kemudian, setelah semuanya beres, ia pergi kerja di sebuah kantor swasta. Kemudian pada malam harinya, kami menonton TV bersama dan bermain bersama, bahkan terkadang Lily meminta untuk tidur bersamaku. Hari - hari itu terus berlalu seperti biasanya, sehingga akhirnya aku merasa bahwa aku sedang berada di rumahku yang sebenarnya. Aku berharap agar hari - hari seperti ini terus barlangsung.

     Beberapa bulan sebelum aku lulus SMU, aku mendapatkan tawaran kerja dari tempat kerjaku yang sekarang. Aku diterima berdasarkan potensi bakatku. Aku bergegas pulang dan memberitahukan kabar gembira itu kepada Rani.
     "Rani ! Aku mendapatkan pekerjaan ! Mereka akan melatihku setelah aku lulus. Semua ini berkat perhatianmu, terima kasih Rani."
     "Hahaha Tak perlu seperti itu, itu memang sudah kewajibanku, *uhuk uhuk" Jawab Rani dengan terbatuk - batuk karena sakit di tempat tidurnya dimana Lily juga baru saja tertidur di pangkuannya.
     "Mulai sekarang, Rani tak perlu lagi bekerja keras. Biar aku saja yang mencari uang untuk kalian berdua." Kataku dengan sedikit rasa iba kepada Rani.
     "Tidak, aku juga harus bekerja untuk menghidupi Lily. Lagipula itu kan uangmu, gunakan saja untuk keperluanmu." Jawab Rani sambil tersenyum kepadanya.
     "Tidak, aku tidak perlu itu. Aku ingin membalas semua kebaikanmu dan juga merawat Lily juga. Tolong, kali ini saja aku mohon. Biarkan  aku membantumu." Pintaku dengan mengiba kepadanya.
     "Baiklah, kalau itu keinginanmu. Terima kasih atas kebaikanmu."
     "Tidak, seharusnya akulah yang berterima kasih kepadamu. Karenamu aku sekarang sudah tidak lagi seperti dulu. Aku... aku... sebetulnya... mencintaimu Rani." Lalu aku langsung memeluknya dan sedikit air mataku turun.
     "Eh ! Jangan sekarang ! Lily masih..."
     Tanpa menunggu kalimatnya selesai, aku menyentuhkan bibirku kepada bibir Rani. Rani kaget dan hanya menerima ciuman tersebut. Lily yang setengah tertidur, melihat kami berciuman lalu ia kembali tidur dengan pulas. Dan itulah ciuman pertamaku kepada cinta pertamaku.

     Setelah aku lulus SMU, aku mulai mencoba memakai setelan jas yang dibeli Rani dan memperlihatkannya kepada Rani.
     "Bagaimana kelihatannya Rani, apa aku cocok ?" Tanyaku kepada Rani.
     "Kelihatannya cocok sekali, hm hm hm. Tidak, kelihatannya sangat cocok sekali, hm hm hm. Hahahahahaaa.... Aduh... gak bisa nahan... Hahahaha.... Biasanya Ricky pakai seragam SMU, jadi kelihatannya gak biasanya kamu seperti ini, hahahahaa.... Kamu terlihat seperti bapak - bapak hahaha...."
     Rani tertawa terpingkal - pingkal mengomentari penampilanku yang baru. Aku merasa seperti diledek olehnya, lalu aku membalas ledekanku kepadanya dengan menghampiri telinganya dan berbisik "Jadi, aku seorang laki - laki kalau pada malam hari saja ya ?".
     Mukanya langsung merah karena tersipu malu lalu mengganti topik pembicaraan, "Sudahlah ! Ricky, ayo mulai pergi kerja. Lily... ayo pergi ke sekolah...".
     Di depan pintu dalam kami berpamitan, dan Lily berkata "Mama, mana ciuman selamat jalannya ?".
     Aku pun langsung menjawab, "Jangan Lily, mama masih sakit... Nanti kamu tetular lho...".
     "Mmmhh... Padahal biasanya mama menciumku...". Lily tertunduk kecewa mendengarnya.
     "Tidak apa - apa Lily, Mama masih sayang sama Lily... Rani, kami pergi dulu ya..."
     "Mama... kami pergi dulu ya...", kata Lily sambil tersenyum kepada Rani.
     "Hati - hati di jalan ya...", jawab Rani sambil melambaikan tangannya.
     Mulai hari itu, semua terasa bahagia seperti biasanya. Tapi juga awal dari kebahagiaan kami yang terakhir bersamanya.
     "*Uhuk, uhuk uhuk. Sepertinya aku harus pergi ke dokter menanyakan penyebabnya", Rani berbicara dengan dirinya sendiri.

     1 minggu kemudian, setelah hasil pemeriksaan Rani keluar. Rani pergi ke rumah sakit tempat ia memeriksakan diri. Kemudian dokter bertanya kepada Rani.
     "Apakah ibu punya keluarga ?".
     "Hanya seorang anak perempuan berumur 6 tahun dan seorang kerabat berumur 18 tahun."
     "Hmff... Sepertinya, kali ini saya merasa sangat berat untuk mengatakan ini. Tapi, aku harus mengatakan sesuatu bahwa menurut diagnosa kami, anda terkena kanker paru stadium 2. Walaupun diangkat, kanker tersebut belum tentu akan hilang sepenuhnya. Lagipula, resiko dari operasi tersebut sangatlah besar. Saya sarankan untuk melakukan cemoteraphy dan radioteraphy untuk menahan laju kanker tersebut."
     Apa yang dikatakan dokter membuat Rani terkejut bukan main, dalam pikirannya. Hanya wajah Lily yang memenuhi pikiran kekhawatirannya.
     Semenjak keluar dari rumah sakit hingga pulang ke rumah, ia terus murung dan berpikiran kosong. Pada saat aku dan Lily pulang, mukanya kembali terlihat ceria, menyembunyikan kemurungan dan kekhawatirannya. Kemudian ia meyambut kami dan berperan seperti hari - hari biasanya.
     "Rani, aku baru saja mendapatkan bonus dari atasan karena pekerjaanku yang sangat bagus."
     "Bonus ?" Tanya Rani
     "Ya, bukan itu saja. Aku mendapatkan hadiah undian di kantor.", lalu aku menunjukkan 3 buah tiket.
     "Kepulauan Seribu ? Ricky dapat tiket berlibur ke Kepulauan Seribu ?" tanya Rani dengan penuh keheranan.
     "Ya, semua akomodasi dan biaya penginapan ditanggung perusahaan, minggu depan kita akan berlibur ke pantai di Kepulauan Seribu !" aku menjawab dengan kegembiraan.
     "Ke pantai ? Hore......!!!", Lily yang mendengar percakapan kami berteriak bahagia.

     Kembali di masa kini. Lily dan kami sudah siap akan semua persiapan untuk pergi ke pantai dimana kami pertama kali pergi berlibur saat itu. Di tempat kami terakhir kali berbahagia dengan Rani.
     "Ricky, apa tidak apa - apa ? biayanya kan dari uangmu semua.", tanya Lily dengan penuh rasa iba.
     "Tenang saja. Semuanya baik - baik saja. Kita sudah lama tidak berlibur kan ?"
     "Ya, ayo Ricky. Kita pergi", ajak Lily dengan ceria.
     "Ayo...!!!", jawabku dengan ceria juga.

     Saat itu, aku ingat saat kami bertiga di pantai. Kami bermain, berenang, bercanda, dan bersenang - senang. Lalu, kami makan es krim bersama, makan bersama dan berjemur di pantai bersama. Sebetulnya aku tidak tahu tentang penyakit yang diderita Rani saat itu.
     Pada saat sebagian matahari tenggelam di laut, kami berjalan kembali ke penginapan. Lily berlari menjauh dari kami, lalu Rani berkata sesuatu kepadaku.
     "Aku bahagia sekali, bisa dicintai lagi oleh seseorang dengan tulus.", katanya dengan nada yang pelan.
     "Ah, aku juga senang bisa bersamamu.", aku pun membalas kata - katanya dengan santai
     "Ricky.", ia kembali berkata dengan nada yang lebih rendah. "Tolong, jaga dan sayangi Lily untukku."
     Dari kalimatnya, aku merasa ada hal yang tidak baik yang kedengarannya seperti tanda sebuah perpisahan. Dengan sedikit merasa sedih, akupun membalas,
     "Tidak ! Aku tidak mau merawatnya sendirian ! Aku ingin terus bersamamu melihat Lily dewasa ! Aku ingin hidup bersamamu lebih lama lagi ! Tolong, jangan berkata seperti itu !"
     Aku langsung memeluk Rani, menangis dan berkata, "Rani, tolong jangan pergi meninggalkan kami... *hiks".
     Rani memelukku juga dan memberikan kehangatannya kepadaku, kemudian Lily berbalik ke arah kami dan berlari ke arah kami
     "Mama gak adil, Lily juga ingin dipeluk..."
     Matahari sudah tidak nampak lagi, dan langit kembali gelap. Kami tidur bersama di kamar penginapan seperti sebuah keluarga.
     Pada malam itu, aku bertanya kepada Rani
     "Mengapa kamu tidak marah kepada mantan pacarmu ?"
     "Bagiku, memendam amarah kepada orang lain akan membuat kita semakin tidak bahagia. Kalau kita tidak bisa memaafkannya, maka lupakan saja semuanya." jawab Rani dengan tenang.
     Aku bertanya dengan tenang, "Lalu apakah kamu memaafkannya ?"
     "Aku sudah melupakannya." jawab Rani dengan senyum di bibirnya.
     Sepertinya, Rani masih tidak mau memaafkannya. Dan untuk menghilangkan amarahnya, dia melupakan semua itu. Akan tetapi, aku masih belum bisa memaafkan maupun melupakan masa laluku yang kelam. Aku merasa masih seorang anak kecil.

     2 bulan kemudian, Rani masuk rumah sakit karena penyakitnya semakin parah.
     "Mengapa kamu tidak mengatakan ini sebelumnya !? Aku sudah dewasa, dan kita sudah seperti sebuah keluarga. Mengapa tidak kamu katakan !?"
     Aku sedikit marah kepadanya karena aku baru mengetahui kondisi Rani yang sebenarnya.
     "Aku tidak ingin membuatmu khawatir. Aku ingin kamu terus bekerja tanpa perlu mengkhawatirkanku."
     "Tapi paling tidak katakan yang sesungguhnya. Aku ingin kita bisa terus bersama ! Lagipula, aku bisa membiayai pengobatanmu"
     "Tenang saja Ricky *uhuk uhuk. Dengan uang simpananku, cukup untuk membiayai semua biaya sekolah Lily hingga lulus SD. Kau tak perlu khawatir."
     "Bukan itu yang ku maksud ! Aku dan Lily ingin bersamamu lagi ! Kita akan berbahagia lagi ! Dan setelah Rani sembuh, kita akan menikah dan menjadi keluarga yang sebenarnya !", aku meminta dengan egoisnya.
     "Jangan khawatirkan aku... Masih banyak wanita yang pantas untukmu. Kamu bisa berbahagia dan juga dapat menjaga Lily dengan baik."
     "Tidak ! Kamulah satu - satunya orang yang kucintai ! Kamu sudah mengubah hidupku dan memberikanku arti hidup yang baru... Aku tidak ingin mencintai orang lain selain dirimu."
     "Hmhmhm... tak perlu memaksakan dirimu untuk itu. Tapi aku senang kamu berkata seperti itu kepadaku. Kamu memang, laki - laki yang sangat baik.", jawab Rani dengan senyum yang lebar dan setelah itu akupun terdiam, kalah dengan kata - kata Rani.
     Rani orang yang baik, terlalu baik untuk memperdulikanku. Ia mengorbankan dirinya juga demi diriku pula. Aku merasa tidak pantas menyebut diriku dewasa bila aku tidak bisa melindungi orang yang kucintai.
     2 minggu kemudian, aku datang ke rumah sakit bersama Lily untuk menjenguk Rani.
     "Mama...." teriak Lily dengan kegirangan.
     "Lily, kamu tidak nakal kan ?" Rani tersenyum kepada Lily.
     "Tidak mama, Lily tidak akan nakal... Mama cepat sembuh ya..."
     "Iya Lily... nanti mama akan pulang ke rumah...", Rani hanya tersenyum kepada Rani walaupun kenyataannya, hidupnya sedang sekarat.
     Aku menoleh ke meja kecil disamping tempat tidurnya. Aku terkejut melihat sisir Rani yang penuh dengan rambut. Pengobatan yang dilakukannya tidak membuatnya semakin sembuh, tapi memperparah kondisinya. Aku melihat senyum Lily dan Rina di tempat tidur tersebut dan pertama kalinya aku merasa sedih melihat mereka tersenyum. Aku tidak tahu, kapan Rani akan kembali seperti deulu lagi.

     4 Bulan kemudian, setelah aku menjemput Lily dari TK-nya. Aku berencana untuk mengajaknya pergi ke rumah sakit lagi untuk menjenguk Rani. Tapi kemudian aku tidak percaya Lily mengatakan sesuatu yang membuatku makin sedih.
     "Ricky...", ia memanggilku dengan sedihnya.
     "Hm ?", aku menyahut panggilannya dengan penuh tanya, mengapa ia berkata dengan sedih.
     "Apakah... Mama akan meninggal ?"
     Pertanyaan itu tidak pernah aku duga sebelumnya. Dengan rasa sedih pula aku memeluk Lily dan berkata
     "Lily... mama pasti akan sembuh... *hiks. Kita pasti akan bersama lagi di rumah, tenang saja."
     Baru kali ini aku berbohong sejak aku pindah ke tempat ini. Aku tahu, Rani sudah tidak punya harapan lagi untuk hidup. Tapi aku terus memaksakan diri untuk mempercayai bahwa Rani pasti akan sembuh.
     Di rumah sakit, aku melihat kulitnya yang sudah putih pudar, badannya yang sangat kurus bahkan terlihat seperti kulit dan tulang saja. Rambutnya yang dulu panjang dan lebat, sekarang terlihat acak - acakan, memutih dan pendek. Semua itu akibat dari efek terapinya.
     "Ricky... Aku ingin pulang ke rumah... Aku ingin berada di rumah..."pinta Rani dengan suara yang menunjukkan ketidakberdayaannya.
     Permintaan itu dengan berat hati aku kabulkan, aku berbicara dengan pihak rumah sakit untuk membawa pulang Rani. Ia mungkin sudah tidak tertolong lagi, tapi aku tak ingin melihatnya menderita seperti ini.

     Di rumah, walaupun kami bertiga bersama. Situasinya tidak seperti dulu. Semua pekerjaan rumah kulakukan sendiri, hingga mengurus dan merawat Rani. Rumah yang dulu penuh canda tawa, sekarang berisi dengan perasaan haru. Lily yang masih bermain dengan ibunya, selalu berbicara dengan Rani walaupun Rani hanya bisa berbaring di tempat tidurnya.
     Lily memperlihatkan lipatan kertas origami yang pernah diajarkan Rani kepadanya, Rani memuji hasil karya Lily dengan memberikan senyumnya..
     "Mama, mengapa tidak di rumah sakit ?", tanya Lily kepada Rani.
     "Supaya mama bisa bermain bersamamu sayang...", jawab Rani dengan suara yang semakin lemah.
     "Aku ingin terus hidup, aku ingin melihat Lily masuk SD menggunakan seragam baru. Aku ingin kembali seperti dulu dan bergembira lagi bersama mereka. Aku mohon kepadaMu Tuhan...", do'a itu diucapakan dalam hati Rani melihat Lily dan seragam baru yang tergantung di dinding kamar Rani, tapi kemudian ia menutup matanya.
     Aku pulang dari kantor pada malam hari. Lampu rumah belum menyala, akau menyahut tidak ada yang menjawab.
     "Rani...! Lily...!", tak ada jawaban apapun.
     "Rani...! Lily...!", tak ada jawaban apapun. Kemudian aku menuju ke kamar Rani.
     "Rani...! Rani ?"
     Di dalam kamar itu, aku melihat Lily bersama Rani, lalu Lily menoleh ke arahku dengan tatapan yang kosong. Rani memegang secarik kertas dengan tubuh yang sudah terbujur kaku. Matanya yang tertutup, basah oleh air matanya sendiri. Mulutnya yang sudah pecah - pecah, tertutup rapat. Dadanya yang selalu kembang - kempis untuk bernafas sudah tidak lagi bergerak.
     "RANI !!!!!!!"
     Dengan mata terbelalak, aku berlari menangis dan menghampiri Rani yang sudah tidak bernyawa lagi. Pada kertas itu, terdapat sebuah tulisan tangan yang bentuknya tidak rata. Disitu tertulis 'terima kasih dan maaf'.
     Aku mengerti maksudnya, ia berterima kasih kepadaku karena telah hidup bahagia bersamanya hingga saat - saat terakhir serta menjaga Lily dan kepada Lily yang sudah menyayanginya sepenuh hati. Tapi maaf karena ia sudah meninggal dan membuat kami sedih.

     Pada hari ini, disaat aku dan Lily berlibur di pantai itu untuk yang kedua kalinya, kami duduk - duduk di pasir pantai pada saat matahari tenggelam. Wajah kami dihiasi cahaya jingga kekuningan, lalu Lily berkata padaku, "Ricky..."
     "Hm ?", aku menyahut panggilannya dan menoleh ke wajahnya.
     "Saat aku melihat matahari terbenam di laut. Aku ingin jadi ingin sekali untuk pulang.", ia memberikan senyum kecil kepadaku.
     Secara semu, aku melihat bayangan wajah Rani yang tersenyum kepadaku. Bagiku, Lily terlihat seperti Rani. Ia terlihat seperti titisan Rani yang terlahir kembali.
     Lalu setelah itu kami kembali ke kamar penginapan kami, Lily tertidur pulas dan aku hanya duduk - duduk di luar jendela penginapan sambil memandangi cahaya bulan purnama yang putih bersih. Lalu aku melihat wajah Lily yang tertidur pulas, aku merasa seperti melihat malaikat kecil yang sedang tertidur pulas.
     Dalam hidupku, aku sudah berjanji kepada Rani untuk menjaga dan menyayangi Lily. Aku tidak akan memaafkan orang yang menyakiti Lily. Aku akan merawat Lily walaupun Rani tiada bersama kami lagi. Aku tak ingin Lily merasa khawatir akan sesuatu. Dan ku pastikan Lily akan hidup bahagia hingga ia dewasa.

Tidak ada komentar: